Lompat ke isi utama

Berita

Kotak Kosong: Pilihan Terakhir atau Perlawanan Demokratis? - Artikel Eneng Nurbaeti, S.Pd,. M.Pd.

Eneng Nurbaeti Koordiv Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa

Fenomena kotak kosong dalam kontestasi pemilihan kepala daerah kerap dipandang sebagai pilihan terakhir pemilih. Namun, lebih dari itu, kotak kosong sejatinya merepresentasikan ekspresi kritis masyarakat terhadap kualitas demokrasi dan keterbatasan alternatif kepemimpinan yang disuguhkan kepada publik.

CILEGON — Dalam setiap pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan calon tunggal, kotak kosong selalu hadir sebagai fenomena yang memantik perdebatan publik. Bagi sebagian pihak, ia kerap dipandang sekadar formalitas prosedural. Namun bagi pemilih yang kritis, kotak kosong justru menjelma sebagai medium ekspresi politik yang sah bahkan dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan demokratis yang konstitusional.

Pada Pilkada 2024, tercatat 37 daerah melaksanakan pemilihan dengan satu pasangan calon. Di sejumlah wilayah, kotak kosong tidak hanya hadir sebagai pelengkap administrasi, tetapi memperoleh suara yang signifikan. Fenomena ini menegaskan bahwa kotak kosong bukan pilihan pinggiran, melainkan preferensi elektoral yang nyata.

Salah satu peristiwa paling ikonik dalam sejarah Pilkada Indonesia terjadi di Kota Makassar pada 2018. Dalam kontestasi yang hanya menghadirkan satu pasangan calon Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi. Publik justru memberikan kemenangan kepada kotak kosong. Peristiwa tersebut mengguncang logika politik elektoral yang selama ini menganggap calon tunggal sebagai jalan pintas menuju kekuasaan.

Kemenangan kotak kosong di Makassar menjadi simbol penolakan terhadap politik elitis dan praktik demokrasi yang minim kompetisi. Ia menunjukkan bahwa pemilih tidak kehilangan daya kritis, meski dihadapkan pada keterbatasan pilihan kandidat.

Landasan Hukum yang Tegas

Secara yuridis, keberadaan kotak kosong memiliki dasar hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya Pasal 54C dan Pasal 54D, mengatur bahwa dalam hal terdapat pasangan calon tunggal, pemilihan tetap dilaksanakan dengan dua pilihan: menyetujui pasangan calon atau tidak menyetujui, yang diwujudkan dalam bentuk kotak kosong.

Ketentuan ini menegaskan bahwa memilih kotak kosong bukan pelanggaran, melainkan bagian dari desain hukum pemilihan untuk menjaga hak konstitusional warga negara sekaligus memastikan prinsip kedaulatan rakyat tetap berjalan.

Kotak Kosong sebagai Pesan Politik

Ketika pemilih secara sadar mencoblos kotak kosong, sesungguhnya mereka sedang menyampaikan pesan politik yang tegas: ketidakpuasan terhadap proses rekrutmen politik, minimnya kompetisi, atau lemahnya representasi calon yang ditawarkan. Ini bukan tindakan apatis, melainkan bentuk partisipasi aktif yang kritis dan rasional.

Dalam demokrasi elektoral, suara kotak kosong dapat dibaca sebagai indikator kualitas demokrasi lokal. Semakin tinggi perolehannya, semakin kuat pula sinyal bahwa demokrasi prosedural belum sepenuhnya diiringi oleh demokrasi substantif.

Sudut Pandang Pengawasan Pemilu

Dari perspektif pengawasan, fenomena kotak kosong menghadirkan tantangan sekaligus tanggung jawab. Bawaslu berkepentingan memastikan bahwa seluruh proses pemilihan termasuk dalam kontestasi calon Tunggal berjalan sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pengawasan difokuskan pada sejumlah aspek krusial, antara lain:

  1. Menjaga netralitas penyelenggara dan ASN, agar tidak terjadi penggiringan opini terhadap salah satu pilihan.

  2. Mencegah politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan, yang berpotensi meningkat dalam kontestasi tanpa lawan.

  3. Meningkatkan pendidikan pemilih, agar masyarakat memahami bahwa memilih kotak kosong adalah hak yang sah dan dijamin undang-undang.

Dalam konteks ini, Bawaslu tidak menilai pilihan politik pemilih, melainkan memastikan bahwa setiap pilihan lahir dari kehendak bebas tanpa tekanan, intimidasi, atau manipulasi.

Refleksi bagi Partai Politik dan Elite Lokal

Menguatnya suara kotak kosong semestinya menjadi bahan evaluasi serius bagi partai politik dan elite lokal. Demokrasi yang sehat menuntut proses kaderisasi yang terbuka, kompetitif, dan berorientasi pada kualitas kepemimpinan bukan sekadar pragmatisme elektoral.

Pemilihan bukan semata soal menang atau kalah, melainkan tentang membangun kepercayaan publik. Ketika rakyat lebih memilih kotak kosong, sesungguhnya yang dipertaruhkan adalah legitimasi politik itu sendiri.

Demokrasi yang Terus Diuji

Kotak kosong mungkin merupakan pilihan terakhir bagi sebagian pemilih. Namun dalam banyak kasus, ia adalah bentuk perlawanan demokratis yang paling konstitusional: tenang, sah, dan bermakna. Ia mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan sekadar menghadirkan bilik suara, tetapi memastikan adanya pilihan yang benar-benar layak untuk dipilih.

Selama kotak kosong masih berbicara lantang, pekerjaan rumah demokrasi belum benar-benar selesai.

Oleh: Eneng Nurbaeti
(Anggota Bawaslu Kota Cilegon / Koordinator Divisi P3S)